Rabu, 21 April 2010

antahla!

Dakwah : menyeru/mengajak manusia ke jalan Allah dengan hikmah dan pelajaran yang baik sehingga patuh pada Allah dan mengingkari taghut.
Dengan pengertian sederhana ini tentu setiap usaha yang mengacu kepada menyembah Allah dan menginkari taghut adalah sebuah usaha dakwah.
Islam sebagai suatu sistem/tata nilai yang syumuliah tentulah memuat segala aspek/lini kehidupan, baik ekonomi,sosial budaya dan politik dll. Islam sebagai suatu ideology dalam pengertian seluas-luasnya tentulah menghendaki agar senantiasa diperjuangkan sebagai sesuatu yang mana ideology itu berperan (dalam segala lini kehidupan). Oleh karena itu setiap orang (muslim) dituntut untuk memperjuangkannya (dengan dakwah) dengan memanfatkan seluruh instrument yang ada. Baik secara cultural maupun structural (Falsafah Gerakan PII,Hasil Muktamar Pontianak 2008).
Perjuangan dakwah cultural, adalah suatu dakwah yang tentunya utama dan terutama. Adalah perubahan cultural menjadi tahap (marhalah) awal dari dakwah itu sendiri. Dimulai dari diri,keluarga, masyarakat dst bianul fardhi, binaul usrah, bahkan dalam pengeloalan negara pun perubahan cultural perlu dialakukan dalam memperbaikai internal sistem pengelolaan negara tersebut.
Pada tahap berikutnya dakwah menuntut adanya peran lebih dalam masyarakat seperti perbaikan aspek legal kemasyarakatan yang membutuhkan peran masadiqhul qharar, dimana peran itu harus melalui wajihah formal agar bisa memainkan peran tersebut. Perjuangan structural (di Indonesia) tentu membutuhkan suatu wajihah formal yang dapat menyentuh ranah binaul hukmi dan binaul daulah yaitu suatu partai politik ( dengan catatan ijtihad penggunaan partai politik sebgai alat dakwah tentu telah memperhatikan marhalah dakwah) yang dapat berperan serta dalam mekanisme yang ada. (pemilihan umum) (Mengelola Masa Transisi Menuju Masyarakat Madani;Hidayat Nurwahid.2004)
Pemisahan islam dengan politik tentulah mengambil politik dalam artian seluas-luasnya dari Islam, sehingga dalam tataran ini politik yang dilakukan tidak lagi berlandaskan tata nilai Islam (Mu’tamimul Ula;materi advanced training PII karawang 2008).
Partai politik yang berbasiskan Islam dan perjuangan keislaman tidak lah satu. Sehingga friksi dalam politik islam pun tidak dapat dihindarkan secara praktis. Kondisi ini bagi kita seyogyanya tidak lantas kemudian membuat kita mengolok-olok-membenci yang satu atas yang lainnya.
Alhujarat 11.
Sehingga melemahkan dakwah (perjuangan) islam itu sendiri dan menurunkan derajat kemusliman kita dari bersaudara menjadi berpecah belah.(ini bukan ember anti pecah).
Terkait dalam praktik Partai Dakwah yang mencoba untuk memanfaatkan setiap moment untuk mensosialisasikan wajihah dakwah siyasi, tentulah tidak serta merta dihukumi sebagai sesuatu yang terlarang dst.
Perjuangan keislaman (dakwah islam) menuntut agar setiap lini/ranah dakwah membantu lini/ranah lain,
“ sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berjuang dijalannya dalam shaf yang rapi sebagaiman laiknya sebuah bangunan.”QS: As shaf 4
Tidak lah patut dibedakan antara kader politik dan kader lainnya, tetapi seyogyanya adalah kader dakwah dengan spesialisasi masing-masing yang berperan di ranah yang berbeda ( ada yang berperan di dakwah miani, dakwah siaysi dst), dimana mereka saling mendukung.
Sebagai contoh dalam dakwah thulabi, Lini Siyasi dalam merebut posisi masadiqul qarar tentulah harus dibantu oleh lini dakwi dan lini ilmi. Dalam setiap kesempatan yang mungkin adalah suatu “sunnah” untuk kemudian mensosialisasikan lini siyasi.
Akan tetapi dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah menjaga diri dari fitnah. Adapun yag saia maksudkan dengan fitnah disini adalah menjaga diri (komunitas) dari pikiran/prasangkaan orang lain bahwa “ini “adalah komunitas dengan orientsi politik berbungkus dakwah.naudzubillahi minzalik.
Sebagai contoh, kegiatan pelatihan shalat seperti yang dicontohkan ibuk, kemudian diisi dengan mensosialisakin partai dst.tentulah ini dapat menimbulkan pitnah (baca dengan logat sunda).
Memahami ini tentulah tidak bisa terlepas dari luar, berhenti di pintu partai, akan tetapi masuklah dan warnailah. Ibarat garam yang ingin memberi rasa asin pada air, tentulah garam harus masuk kedalam air, tidak bisa berhenti dipinggir gelas saja.
Lalu bagaimana kalau hanya ingin mempelajari (finna laisa minna)?
Tentu seyogyanya kita belajar dan mendapatkan informasi dari sumber primer yang tepat. Bukannya dari sumber yang tidak jelas ataupun sumber yang apriori terhadap yang kita pelajari. Sehingga kita tidak menjadi orang buta yang memegang telinga gajah,karena telinga yang lebar dan yang dipegang hanya telinga itu maka sang buta berkesimpulan bahwa gajah itu pipih (Jujun S. Sumantri.Filsafat ilmu.pustaka harapan.)
Atau seperti orang buta yang berdebat soal ukuran (tinggi)batang kelapa.
Dalam mempelajarinya jangan dilandasi oleh sikap apriori/under estimate terhadap yang dipelajari. Kalau proses pembelajaran sudah diracuni sikap apriori tentulah hasil yang didapatkan adalag hanya keburukan, jika ditemukan kebaikan atasnya tentu akan ada dalih lain yang kemudian tetap mengarahkannya kepada keburukan.
Wallahualam bis shawab.

Tidak ada komentar: